Liputan6.com, Jakarta Pemerintah menekankan bahwa persoalan sampah plastik tidak bisa lagi dipandang sebatas isu lingkungan. Jika tidak ditangani, timbunan plastik berpotensi mencemari udara, tanah, hingga air yang akhirnya berdampak langsung pada kesehatan publik.
Direktur Pengurangan Sampah dan Pengembangan Ekonomi Sirkular dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Agus Rusly, S.PI., M.Si, mengingatkan bahwa tanpa aksi nyata, TPA di seluruh Indonesia bisa penuh pada 2028.
“Mari kita mulai dari rumah masing-masing, memilah sampah dan mengurangi plastik. Ingat, tahun 2028 seluruh TPA kita bisa penuh jika tidak ada aksi nyata dari sekarang,” kata Agus dalam talkshow bertajuk 'Towards Circularity: Tackling Waste Management Challenge Through Multi Stakeholder Collaboration' di Habitate Jakarta, pada Selasa, 26 Agustus 2025.
Langkah pemerintah ini mendapat dukungan dari sektor industri melalui skema Extended Producer Responsibility (EPR). Indonesia Packaging Recovery Organization (IPRO) hadir sebagai wadah kolaborasi, memastikan produsen tidak bekerja sendiri melainkan berbagi tanggung jawab dengan mitra dan komunitas.
Produsen besar seperti PepsiCo Indonesia juga menyatakan komitmennya terhadap keberlanjutan. Dengan target global 2030, mereka mendorong penggunaan kemasan yang lebih ramah lingkungan dan menerapkan praktik produksi berkelanjutan di Indonesia. Upaya ini turut membantu mengurangi potensi polusi plastik yang bisa membahayakan kesehatan masyarakat.
Di tingkat lokal, komunitas seperti Bali Waste Cycle menggarap solusi berbasis desa. Pemberdayaan masyarakat, termasuk kelompok disabilitas, menjadi kunci agar pengelolaan sampah bernilai rendah tidak hanya memberi manfaat lingkungan, tetapi juga mencegah dampak kesehatan akibat pencemaran plastik.
Regulasi dan Peran Produsen
General Manager Indonesia Packaging Recovery Organization/IPRO, Reza Andreanto, menjelaskan bahwa EPR bukan sekadar kewajiban produsen, tetapi juga kesempatan membangun sistem yang adil antara produsen, pemerintah, dan masyarakat.
“Framework di IPRO ini unik. Dari 23 anggota, ada 17 brand owner, sisanya adalah packaging converter dan industri pendukung yang sebenarnya tidak diwajibkan regulasi, tapi mereka berkomitmen berkontribusi,” katanya.
Ia menegaskan bahwa keberhasilan sistem hanya mungkin terjadi jika ada kepastian permintaan industri dan pemanfaatan skala besar. Menurutnya, keberadaan insentif per kilogram berdasarkan jenis kemasan, pooling fund, hingga investasi bersama adalah cara untuk memastikan keberlanjutan. Lebih jauh, IPRO kini juga menyiapkan kajian akademis yang akan menjadi landasan rekomendasi kebijakan nasional.
Komitmen Produsen Besar: PepsiCo dan Target Global
Director of Government Affairs and Corporate Communications, PepsiCo Indonesia, Gabrielle Angriani Johny, menuturkan bahwa perusahaan membawa visi keberlanjutan global ke dalam operasional lokal.
“Kami menargetkan 100% kemasan bisa reusable, recyclable, atau compostable pada 2030. Di Indonesia, kami sudah mulai dengan monomaterial packaging agar lebih mudah didaur ulang,” jelasnya.
Selain itu, PepsiCo mengembangkan program Greenhouse Accelerator untuk mendukung startup lingkungan, salah satunya Value Recycle yang mendapat dukungan dana hingga 20.000 USD.
Tidak hanya kemasan, PepsiCo juga menerapkan efisiensi air, penanaman pohon untuk replenishment, serta pemanfaatan listrik energi terbarukan di pabrik.
Giselle menegaskan bahwa keberlanjutan bukan hanya soal produk, tetapi tentang bagaimana perusahaan memberi dampak positif bagi bumi dan masyarakat, termasuk menekan risiko kesehatan akibat polusi plastik.
Pemberdayaan Masyarakat Lokal di Bali
Bali Waste Cycle juga menekankan pentingnya melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sampah, terutama di daerah dengan tantangan besar seperti Bali Utara.
“Kami memulai dari desa Bengkala yang terkenal dengan komunitas disabilitas. Di sana kami tidak hanya mengolah sampah plastik bernilai rendah, tapi juga memberi nilai sosial dengan memberdayakan mereka,” kata Director Bali Waste Cycle/BWC, Olivia Anastasia Padang.
Olivia menjelaskan bahwa sampah multi-layer diolah menjadi papan, pellet, hingga SRF (Solid Recovered Fuel). Ia menambahkan bahwa pendekatan berbasis komunitas harus disesuaikan dengan kondisi setempat, baik sekolah, desa, hingga pariwisata.
Tantangan terbesar adalah perubahan perilaku masyarakat, namun dengan dukungan multi-stakeholder dan edukasi berkelanjutan, cerita sukses perlahan bisa ditularkan ke daerah lain.