Jakarta, CNBC Indonesia - Laba industri China turun 1,5% pada Juli 2025 dibandingkan periode sama tahun lalu. Meski masih terkontraksi, angka ini menunjukkan perbaikan signifikan dari penurunan 4,3% di Juni dan 9,1% di Mei.
Pemerintah Beijing disebut berhasil meredam dampak perang harga yang sebelumnya menekan profitabilitas perusahaan.
Menurut data Biro Statistik Nasional (NBS) pada Rabu (27/8/2025), laba perusahaan industri besar sepanjang Januari-Juli turun 1,7% secara tahunan. Penurunan terutama dipicu oleh anjloknya laba sektor pertambangan yang merosot 31,6%. Sebaliknya, sektor manufaktur dan utilitas mencatatkan kenaikan laba masing-masing 4,8% dan 3,9%.
Yu Weining, ahli statistik NBS, menyebut kebijakan pemerintah yang mengendalikan perang harga dan mendorong stabilitas harga konsumen berkontribusi terhadap perbaikan margin keuntungan.
"Pemulihan harga membantu meningkatkan profitabilitas perusahaan, terutama di sektor manufaktur bahan baku," ujar Yu, seperti dikutip CNBC International.
Data NBS menunjukkan laba manufaktur bahan baku melonjak 36,9% pada Juli, berbalik dari penurunan 5% di Juni. Kilang baja dan minyak mencatatkan keuntungan, meski produsen barang konsumsi masih mengalami tekanan.
Perusahaan milik negara (BUMN) mencatat penurunan laba bersih 7,5% pada tujuh bulan pertama 2025. Sebaliknya, perusahaan swasta dan asing justru membukukan kenaikan laba tipis 1,8%.
Tianchen Xu, ekonom senior di Economist Intelligence Unit (EIU), menilai kebijakan Beijing mulai berdampak.
"Efek awal anti-involusi sudah terlihat, terbukti dari sedikit peningkatan margin keuntungan," katanya. "Involusi, atau 'neijuan', merujuk pada persaingan berlebihan yang memicu perang harga di ekonomi China."
Ke depan, China akan merilis indeks manufaktur resmi (PMI) Agustus pada akhir pekan ini. Konsensus Reuters memperkirakan PMI tetap berada di zona kontraksi untuk bulan kelima berturut-turut. Sementara itu, survei swasta RatingDog (dulu Caixin) menunjukkan PMI manufaktur Juli naik ke level 50 dari 49,5, ditopang ekspor yang lebih kuat.
Meski demikian, risiko deflasi masih menghantui. Harga di tingkat pabrik (PPI) pada Juni dan Juli jatuh ke titik terendah dua tahun terakhir akibat permintaan domestik yang lesu dan kapasitas berlebih di sektor manufaktur.
(tfa/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kamar Hotel 'Hantu' Bermunculan di Jakarta, Perang Harga Jadi Ancaman