SEORANG warga sipil, Subhan Palal, secara resmi menggugat Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan itu didaftarkan secara perdata pada Jumat, 29 Agustus 2025 dengan nomor perkara 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst.
Gugatan itu berkaitan dengan keabsahan ijazah pendidikan menengah atas milik Gibran yang dinilai tidak memenuhi syarat sebagai calon wakil presiden dalam Pemilu 2024. Sidang perdana perkara tersebut akan digelar pada Senin, 8 September 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Dalam gugatannya, Subhan mengatakan Gibran tidak memiliki ijazah SMA sederajat di Indonesia. “Saya menggugat Gibran itu karena Gibran tidak punya ijazah SMA sederajat di Indonesia,” kata dia saat dihubungi pada Kamis, 4 September 2025.
Menurut Subhan, dokumen yang dipakai Gibran dalam proses pencalonan hanya berupa sertifikat dari sekolah di Singapura bernama Orchid Park Secondary School Singapore. Selain itu, ada sertifikat dari UTS Insearch Sydney.
Subhan menilai sertifikat tersebut tidak bisa disetarakan dengan ijazah SMA di Indonesia. “Kalau disetarakan itu kompetensinya bukan KPU, tapi di pendidikan tinggi (dikti). Sementara aturan pemilu tidak mengenal penyetaraan di level SMA,” ujarnya.
Menurut Subhan, sekolah Orchid Park lebih menyerupai program matrikulasi atau kursus persiapan kuliah, bukan lembaga pendidikan formal setara SMA. “Jadi bukan sekolah formal seperti di Indonesia. Untuk mencapai TOEFL tertentu, dia masuk situ. Tapi SMA-nya tidak pernah punya dia (Gibran) itu,” kata dia.
Subhan mendalilkan adanya perbuatan melawan hukum (PMH). Ia menilai tindakan Gibran mendaftar sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto saat itu sudah melanggar ketentuan undang-undang karena tidak memenuhi syarat ijazah. “Kalau dia sudah mengerti, maka perbuatan melawan hukum. Tinggal ketok palu saja, hakim berani enggak ini?” ucapnya.
Subhan juga menuntut kerugian negara akibat dugaan pelanggaran itu. Dalam petitum gugatannya, ia meminta hakim menyatakan Gibran bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan perbuatan melawan hukum.
Selain itu, Subhan meminta hakim menyatakan jabatan Gibran sebagai wakil presiden tidak sah atau batal demi hukum. Hakim juga diminta menghukum Gibran dan KPU membayar kerugian negara sebesar Rp 125 triliun 10 juta secara tanggung renteng.
“Ada satu lagi, kami minta hakim menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara,” kata Subhan.
Besarnya nilai ganti rugi yang diajukan, kata Subhan, merupakan simbol kerugian negara akibat tercorengnya prinsip negara hukum. “Harusnya saya minta Rp 1.000 triliun, tapi saya minta Rp125 triliun saja. Negara harus menanggung beban noda karena orang tanpa hukum bisa jadi orang nomor dua,” ujarnya.
Meski yakin gugatannya berdasar fakta hukum, Subhan menyadari putusan tetap ada di tangan hakim. “Kalau faktanya sudah jelas, tapi apa berani hakim memutus, itu masalahnya,” kata dia.
Dalam perkara ini, Subhan memilih maju tanpa kuasa hukum dan akan membela diri secara langsung di pengadilan. Ia diketahui berprofesi sebagai advokat.
Sunoto, Juru Bicara PN Jakarta Pusat mengonfirmasi soal perkara yang diajukan Subhan. Dalam petitum gugatan tersebut, Subhan meminta majelis hakim menyatakan Gibran selaku tergugat I dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku tergugat II telah melakukan perbuatan melawan hukum. Penggugat juga meminta Gibran dinyatakan tidak sah menjadi Wakil Presiden periode 2024-2029.
"Menghukum para tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiil dan immateriil kepada penggugat dan seluruh warga negara Indonesia sebesar Rp 125 triliun dan disetorkan ke kas negara," ujar Sunoto menyitir gugatan tersebut, saat dikonfirmasi pada Rabu, 3 September 2025.
Amelia Rahima berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pillihan Editor: Solidaritas Lintas Batas: Dari Jiran ke Ojol Jakarta