Liputan6.com, Jakarta Tren kuliner terus meningkat akhir-akhir ini, sebut saja yang tengah ngetren croissant butter dan matcha cake. Lalu, ada juga snack kemasan dengan variasi rasa rumput laut dan tteokbokki aneka rasa banyak digemari saat ini.
Banyak jenis kuliner baru datang tapi sadarkah bahwa ancaman penyakit juga datang?
Di balik ragam kuliner kekinian yang menggoda lidah itu, ada ancaman kesehatan yang perlu diwaspadai. Dokter spesialis gizi klinik Cut Thalya mengingatkan, tidak semua tren makanan aman dikonsumsi secara berlebihan.
“Konsumsi gorengan, makanan olahan cepat saji, yang gurih dan renyah mengandung paling banyak lemak jenuh dan lemak trans. Hal ini bisa jadi pemicu obesitas, “ kata Cut Thalya yang sehari-hari praktik di Rumah Sakit Husada Jakarta ditemui pada 18 Juli 2025.
Memang tidak semua lemak itu jahat. Tubuh tetap membutuhkan lemak sebagai komponen penting dinding sel, pembentuk hormon, hingga sumber energi. Hanya saja, jenis dan jumlahnya yang perlu diperhatikan.
“Lemak-lemak yang berlebihan akan disimpan dalam tubuh dan menyelimuti organ kita. Jumlah lemak yang berlebih dapat menimbulkan peradangan, jadi mudah terserang penyakit,“ jelasnya.
Dikutip dari Centers for Disease Control and Prevention, seseorang dengan angka BMI (body mass index) lebih besar dari 25, termasuk kelebihan berat badan. Jika angkanya mencapai 30 atau lebih, artinya termasuk ke dalam kategori obesitas.
Namun, perhitungan obesitas pada penduduk negara Asia termasuk Indonesia berbeda dengan masyarakat global. Berdasarkan kategori WHO, orang Asia disebut obesitas bila memiliki BMI di atas 25.
Rumus dari perhitungan BMI adalah berat badan (kg) dibagi tinggi badan dikali dengan tinggi badan atau tinggi badan kuadrat.
Angka Obesitas Naik Terus di Indonesia
Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 dan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 Kementerian Kesehatan, prevalensi obesitas naik dalam lima tahun. Prevalensi obesitas berada di angka 21,8 persen pada 2018, lima tahun kemudian menjadi 23,4 persen.
Bila merujuk data NCD Risk Factor Collaboration (NCD-RisC), sebuah jaringan ilmuwan kesehatan dunia meneliti tren obesitas tahun 2024, perempuan dewasa di Indonesia lebih banyak yang obesitas. Angka obesitas pada laki-laki adalah 6,53 persen sementara perempuan dewasa yang obesitas ada 16,58.
Masalahnya tidak semua orang menganggap obesitas sebagai suatu masalah. Di Indonesia, pipi tembem dianggap lucu, lalu perut buncit dinormalisasi terjadi saat dewasa.
Belum lagi kala seseorang berbadan gemuk malah dipuji karena dianggap sebagai indikator kesuksesan.
Kisah Ilham Wijaya yang Sempat Berbobot 110 Kg
Obesitas pernah dialami oleh Ilham Wijaya. Pada saat ia berumur 22 pada 2013, ia melarikan diri dari stres dengan makan. Saat itu, berat badannya sudah diatas 100 kilogram tapi belum membuatnya sadar bahaya obesitas kala itu.
“Waktu kuliah, stres sedikit larinya ke makan, seperti ayam geprek. Termasuk minuman manis saya asal ambil ya. Tahun 2013 itu berat badanku di 110kg" cerita Ilham pada 19 Juli 2025.
Tak jarang, di usia yang terbilang muda saat itu, Ilham merasakan sering sakit, sesak napas, dada nyeri seperti ‘dicubit kecil’ dan sakit di leher. Belum lagi ia memiliki tekanan darah tinggi.
Sakit yang menyiksa tubuhnya kala itu, jadi titik balik untuk memulai hidup sehat. Tahun 2017, Ilham Wijaya yang kala itu seorang mahasiswa, memulai menata pola makan dan olahraga.
Kini di tahun 2025 Ilham telah menjadi seorang karyawan perusahaan swasta. Tubuhnya tak lagi obesitas. Angka timbangannya sudah berada di 73 kilogram.
“Sekarang aku lebih mengatur meningkatkan berat otot dan mengurangi kadar lemak dengan olahraga. Untuk makan, saat ini lebih memperbanyak protein, mengurangi jumlah karbohidrat dan lemak. Goreng-gorengan, kopi gula aren, roti-rotian sudah enggak”, cerita Ilham.
Bahkan, perjalanannya untuk mendapat hidup lebih sehat, membawanya kini menjadi instruktur olahraga Body Pump.
Body Pump adalah latihan angkat beban, dengan berat ringan, hingga sedang dengan repetisi tinggi, serta musik yang energik.
“Body pump, itu lebih simple, otot yang mau dibentuk jelas dan latihan kekuatan otot, banyak cardio juga, “ jelasnya.
Bukan Cuma Obesitas, Lemak Trans Tingkatkan Risiko Penyakit Jantung
World Health Organization (WHO) mengatakan lemak trans yang tidak baik berasal dari proses industrial. Minyak melalui proses hidrogenerasi secara parsial, atau melalui pengolahan, penggorengan dan pemanasan. Proses ini merubah ikatan kimiawi, juga merubah bentuknya yang semula cair menjadi minyak padat.
Tak hanya karena memicu obesitas, lemak trans perlu dieliminasi karena meningkatkan risiko penyakit jantung dan kematian dari penyakit jantung koroner.
Konsumsi makanan mengandung lemak trans juga menaikkan LDL atau kolesterol jahat yang menyumbat pembuluh darah di jantung dan menurunkan HDL si kolesterol baik.
Penelitian WHO pada 2023 menemukan 8,46 persen dari 130 sampel jajanan yang diuji di Indonesia mengandung lemak trans berlebih. Padahal rekomendasi WHO yaitu 2 gram per 100 gram lemak total.
Sampel tersebut berasal dari empat kategori makanan, yaitu minyak dan lemak, margarin dan olesan, makanan kemasan yang mengandung lemak. Contohnya seperti biskuit, kue kering, wafer, kue, dan roti, dan makanan siap saji seperti mi goreng, nasi goreng, ayam goreng, kentang goreng, dan roti. Kandungan sumber lemak trans itu timbul dari bahan -bahan pembuat makanan itu.
Belum Ada Aturan Pencantuman Kadar Lemak Trans pada Label Kemasan
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan industri pengolahan makanan dan minuman (mamin) memegang peranan yang sangat vital dalam perekonomian Indonesia.
Pada tahun 2024, tercatat mengalami pertumbuhan signifikan dengan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang meningkat sebesar 5,9 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat kontribusi produk domestik bruto dari industri ini mencapai R p1,53 kuadriliun sepanjang tahun lalu.
Meski punya peranan vital dalam perekonomian Indonesia, belum ada aturan yang ketat dalam pencantuman kadar lemak trans pada label nilai gizi yang ada pada kemasan makanan atau minuman. Tak heran, belum semua makanan kemasan yang dijual di Indonesia mencantumkan lemak trans pada label nilai gizi. Untuk itu, kesadaran masyarakat akan bahaya lemak trans perlu ditingkatkan.
Padahal kehadiran label nilai gizi ini membantu konsumen menentukan pilihan makanan sehat dengan memahami takaran saji per sajian. Serta mengetahui %AKG (Angka Kecukupan Gizi) yang menunjukkan kontribusi nutrisi terhadap kebutuhan harian.
Dari label nilai gizi masyarakat tahu tentang takaran saji, energi total dari makronutrien (karbohidrat, lemak, protein), serat pangan, serta mikronutrien seperti vitamin dan mineral.
Lalu, untuk jenis gula dan jenis lemak dijelaskan lagi lebih lengkap. Misalnya pada gula total, dijelaskan penggunaaan sukrosa. Pada lemak total, dijelaskan penggunaan kadar lemak jenuh, kolesterol dan lemak trans.
<...