Jakarta, CNBC Indonesia - Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal mengungkapkan berbagai celah yang menyebabkan rasio perpajakan negara rendah.
Dirinya menjelaskan berdasarkan berbagai kajian, terdapat empat faktor utama yang menentukan besaran tax ratio sebuah negara. Yakni tingkat pembangunan ekonomi, struktur ekonomi, dan institusi dan tax gap.
Dari sisi struktur ekonomi, keberadaan aktivitas ekonomi yang selama ini sulit dikenakan pungutan atau shadow economy juga membuat penerimaan pajak sulit tumbuh optimal.
"Shadow economy tentu menentukan juga ketergantungan sebuah negara pada sektor-sektor yang sifatnya informal itu juga berbanding terbalik dengan besaran tax ratio," ujar Yon Arsal dalam webinar daring Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Selasa (26/8/2025).
Sementara dari celah perpajakan atau tax gap terdapat dua hal yang perlu dicermati. Yakni administration gap atau potensi penerimaan yang hilang karena keterbatasan pemeriksaan dan penagihan. Serta policy gap yaitu hilangnya potensi penerimaan akibat kebijakan insentif pajak.
"Nah kalau kita melakukan assessment misalnya lakukan pemeriksaan, tapi tetap saja pemeriksaan ada yang tidak dibayar nah bagian yang tidak dibayar itu yang kita sebut dengan collection gap tetapi assessment gap artinya ada peluang yang seharusnya dilakukan oleh DJP tapi tidak di-collect," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, pendiri konsultan pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam menjelaskan berdasarkan data yang dihimpun, Indonesia menduduki peringkat kedua shadow economy terbesar di dunia.
Berdasarkan laporan International Monetary Fund (IMF) terkait Global Shadow Economy Report tahun 2025, shadow economy Indonesia mencapai 23,8% terhadap PDB.
"Shadow economy bisa yang sifatnya illegal. Tidak tercatat atau illegal. Apa itu yang sifatnya illegal? Ya, misalnya judi, dan prostitusi, dan sebagainya," ujar Darussalam.
Pemerintah Mulai Kejar Shadow Economy Tahun 2026
Menilik dokumen Nota Keuangan beserta RAPBN Tahun Anggaran 2026, pemerintah telah menargetkan sejumlah sektor usaha yang selama ini disebut banyak aktivitas shadow economy-nya, yakni perdagangan eceran, makanan dan minuman, perdagangan emas, serta perikanan.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mendefinisikan shadow economy sebagai aktivitas ekonomi yang sulit terdeteksi oleh otoritas berwenang sehingga luput dari pengenaan pajak. Shadow economy juga disebut dengan black economy, underground economy, ataupun hidden economy.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga telah menyinggung pengejaran pajak untuk shadow economy demi mengejar target setoran pajak pada 2026 yang sebesar Rp 2.357,71 triliun tanpa harus menaikkan tarif pajak apapun.
"Ini sebetulnya juga berkaitan dengan shadow economy dan banyak juga illegal activity," kata Sri Mulyani saat konferensi pers RAPBN 2026, seperti dikutip Selasa (19/8/2026).
Untuk mengatasi persoalan shadow economy yang berpotensi menggerus basis penerimaan pajak, sejak 2025 pemerintah telah menyusun kajian pengukuran dan pemetaan shadow economy di Indonesia, penyusunan Comliance Improvement Program (CIP) khusus terkait shadow economy, serta analisis intelijen untuk mendukung penegakan hukum terhadap wajib pajak berisiko tinggi.
"Pemerintah juga akan melakukan kajian intelijen dalam rangka penggalian potensi shadow economy tersebut," dikutip dari dokumen RAPBN 2026.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article DJP Siap Kerja Sama dengan Satgassus Polri Amankan Pendapatan Negara